MUDITA; 71

"Gue nyusul temen-temen gue dulu," Taehyung berkata setelah mereka keluar dari kawasan food court bersama dengan Jimin juga temannya yang memperkenalkan diri sebagai Jung Hoseok; pria supel banyak bicara dan memiliki selera humor sama rendahnya seperti Jimin. 

Selesai menonton tadi, ketiganya memutuskan untuk makan lebih dulu karena rasa lapar akibat energi yang lumayan habis menghadapi jumpscare dari film yang baru saja mereka tonton. Ketiganya ternyata memiliki toleransi rendah terhadap genre horror. Dan Jimin adalah dalang penyebab keringat mengucur di dahi mereka,  padahal ruangan saat itu full AC. 

Selagi menunggui Mingyu dan Bambam yang sibuk di  game center, Taehyung memilih berlama-lama di situ, mengemil sambil mengobrol banyak hal random dengan Jimin dan Hoseok yang sama sekali tidak keberatan atas kehadirannya.

Meskipun Taehyung belum lama mengenal  Jimin dan bertemu Hoseok baru kali ini, dia dapat merasakan kenyamanan dalam suasana obrolan itu. Mungkin karena Hoseok memiliki banyak topik untuk dibahas, atau karena suara tawa Jimin yang menular, atau mungkin kombinasi dari keduanya. Karena itu, selama mereka makan malam bertiga setelah selesai menonton, satu jam berada di sana sama sekali tidak terasa. Sampai ketika ponselnya berdering dengan nama Mingyu terpampang di layar, barulah Taehyung memutuskan untuk pamit.

Namun, saat Taehyung beranjak dari tempat duduknya, Jimin ikut berdiri. 

"Taehyung," panggilnya, "Kita boleh ngobrol bentar nggak?"

Taehyung mengantongi ponselnya selagi membalas, "Ngobrol apa?"

Jimin beralih pada Hoseok, memberi gestur untuk pergi sebentar dengan Taehyung yang dibalas anggukan paham oleh lawan bicara. Jimin lalu menarik Taehyung sedikit menjauh dari Hoseok untuk mendapat privasi, yang dituruti oleh Taehyung tanpa banyak bantahan. 

"Taehyung," Jimin sedikit gelisah saat dia menjeda kalimat, "Lo deket sama Jeongguk?"

Mendengar nama Jeongguk disebut dalam pembahasan, Taehyung kontan mengernyit, "Temen kelas biasa."

Dengan hati-hati, Jimin berusaha menyusun kalimat, "Lo punya potensi buat suka sama Jeongguk, nggak?" tanya Jimin pelan, sedikit takut melirik Taehyung untuk membaca ekspresi dari pemuda itu.

Taehyung membuang napas, sudah menebak ke mana arah pembicaraan ini akan berjalan. "Kenapa emang?"

Jimin menyengir salah tingkah, "Nanya aja, sih."

"Jim," Taehyung memanggil, "To the point, gue ditungguin nih, " ujarnya tergesa.  Dia memang sedang  terburu-buru. Mingyu dan Bambam sudah menungguinya di tempat parkir, jadi Taehyung tidak punya waktu banyak untuk meladeni obrolan Jimin.

"Jeongguk suka sama lo."

Hening beberapa saat. Tidak ada perubahan emosi yang berarti dari gurat wajah Taehyung sedangkan Jimin menunggu jawaban harap-harap cemas. Rasanya seperti dia yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap orang yang dia sukai. 

"Gue tau," balas Taehyung singkat.

Jimin terdiam, sedikit kikuk atas pengungkapan yang terucap dari mulut Taehyung. Dia ingin menanyakan lebih lanjut tentang perasaan Taehyung terhadap saudara sambungnya, tapi kalimat yang sudah hendak keluar dari pita suaranya terputus tiba-tiba saat Jimin merasakan senggolan kasar pada bahunya. Membuat tubuhnya oleng dan nyaris terjerembab ke lantai marmer jika Taehyung tidak lebih dulu menarik tangannya, menyebabkan punggung Jimin menempel sempurna di dada pemuda itu.

"Lo nggak papa?" 

"Eh?" Jimin mengedip beberapa kali, sadar bahwa posisinya masih bersandar pada Taehyung, dia dengan canggung menjauhkan jarak di antara keduanya dan meringis, "Nggak papa. Maaf, ya?"

"Nope," Taehyung menjawab cuek, mengambil ponselnya yang kembali berdering dan langsung pamit setelah sebelumnya menunjukkan nama Mingyu berada pada panggilan di layar menyala sebagai tanda bahwa dia sudah dicari.

Sementara itu, beberapa meter dari posisi mereka, Jeongguk memperhatikan dengan pandangan kosong.