MUDITA; 194

Jeongguk menatap dirinya di depan cermin. Penampilannya berantakan; rambut lepek, wajah kusut, mata dan pipi memerah, basah hampir di seluruh bagian atas kaosnya bersama bau manis leci yang tidak hilang karena minuman yang ditumpahkan Yoongi beberapa waktu lalu, serta air mata yang terus menerus dia halau dengan telapak tangan secara kasar agar tidak jatuh menuruni pipi.

Jeongguk enggan menangis. Air mata tidak bekerja untuknya, percuma, hal itu tidak akan mendatangkan simpati apapun dari orang-orang. Dia bukan Jimin, yang hanya dengan mengaduh sekali saja, orang akan langsung bertanya bagian mana dari tubuhnya yang sakit. Yang hanya dengan merengek sedikit saja, orang akan langsung menawarkan seisi dunia untuk bisa pemuda itu miliki. Yang apa bila ada gurat sendu pada wajahnya sekalipun hanya samar, semua orang akan langsung panik dan berusaha menghibur pemuda itu bagaimanapun caranya agar senyum kembali cerah menghiasi bibir Jimin. Seperti yang dilakukan Yoongi—dan Taehyung. 

Jeongguk sebenarnya sadar, Taehyung tidak pernah menyukainya barang sedikitpun. Pemuda itu hanya sedang menjerat Jeongguk agar dirinya berhenti menyakiti orang-orang. Dia hanya ingin Jeongguk tidak menjadikan dirinya sebagai alasan segala perbuatan tidak pantas yang Jeongguk lakukan. Taehyung bersikap baik pada Jeongguk karena nuraninya meminta begitu. Dia peduli pada Jeongguk karena akalnya mendorong sikap itu. Sebab jika tidak, Taehyung akan  menjadi tersiksa. Menangis layaknya orang bodoh seperti yang dia lakukan tempo lalu dan hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah seumur hidup. 

Itu saja. Tidak ada hal spesial dari segala tindakan dan perhatian yang Taehyung berikan padanya. 

Jeongguk menyalakan keran, kembali membasuh wajahnya dengan kasar beberapa kali untuk menyamarkan jejak air mata. Melirik sekilas pada pesan yang Taehyung kirimkan padanya, Jeongguk tersenyum pahit. 

Lo kalo mau mutusin gue, ngomong langsung depan muka gue.

Padahal, ketika pemuda itu bertanya tentang keberadaannya, Jeongguk berpikir Taehyung mulai berubah pikiran. Angan Jeongguk telah berandai bahwa Taehyung tidak jadi mengambil shift lalu datang menghampirinya. Jeongguk sudah ingin mengadu pada Taehyung bahwa Yoongi bersikap kurang ajar padanya dengan menyiram Jeongguk hingga wajah dan separuh bajunya lengket dan beraroma leci. Jeongguk ingin Taehyung membelanya, mengatakan pada Jeongguk bahwa semua akan baik-baik saja, menemaninya pergi membeli baju ganti lalu mereka akan menghabiskan penghujung hari untuk bersenang-senang. Jeongguk akan menggenggam tangan Taehyung sepanjang jalan, memamerkan pada Jimin bahwa Taehyung selalu menjadikannya prioritas, bahwa Taehyung-nya tidak kalah romantis dari Yoongi—mereka akan membeli baju couple berdua, makan di restoran lalu saling bersuapan, menonton bioskop dengan kepala bersandar di bahu pasangan, berbagi popcorn, dan kemudian berciuman di akhir pemutaran film seperti yang dilakukan Jimin dan Yoongi.

Namun pesan selanjutnya dari Taehyung dimana pemuda itu meminta Jeongguk untuk pulang menghancurkan segala mimpi disney yang dia ciptakan. 

Dan seharusnya Jeongguk tidak usah menaruh harapan lain seperti Taehyung yang tidak ingin Jeongguk sendirian dan kenapa-napa di sana tanpa dirinya ketika dengan jelas dia sudah paham bahwa Taehyung hanya tidak ingin Jeongguk membuat keributan dan memulai pertengkaran lagi dengan Jimin. 

Taehyung ingin melindungi Jimin. 

Selalu Jimin.

Maka, Jeongguk merasa mungkin sudah waktunya dia berhenti. 

Taehyung memang orang yang pernah menyelamatkan hidupnya—seseorang yang Jeongguk pikir berbeda, orang yang bisa melihat luka di matanya. Tapi pada nyatanya, semua simpati dari Taehyung yang dia dapatkan bukanlah sesuatu yang lebih. Dia melakukan itu pada semua orang. Bahkan Jimin.

Meraih beberapa lembar tisu, Jeongguk memasukkan ponselnya ke kantong celana dan berniat pergi meninggalkan toilet ketika pintu tersebut lebih dulu menjeplak dibuka dari luar bersamaan sosok pria yang memasukkan ruangan.

"Taehyung?" Jeongguk berseru kaget begitu menyadari bahwa itu adalah Taehyung, "Ngapain di sini?"

Mengabaikan pertanyaan Jeongguk,Taehyung melangkah menghampirinya, menelisik dengan cermat siluet pemuda di hadapannya itu sebelum berkomentar, "Lo habis nangis?" hening sesaat, "Dan kenapa badan lo bau manis gini?" 

Tangan Taehyung berusaha menggapai Jeongguk, namun pria itu langsung membersit mundur. 

Taehyung sontak terdiam, menyaksikan Jeongguk yang begitu kacau dengan mata sembab seperti ini membuatnya diliputi perasaan tidak nyaman, "Gguk, baju lo basah," ujarnya lembut, "Nanti masuk angin kalo dibiarin lama-lama. Gue nggak bawa jaket," Taehyung berkata khawatir, "Lo mau gue temenin beli baju ganti dulu? Baru habis itu kita pula—"

"Taehyung, stop." Jeongguk menatap Taehyung pahit, nadanya melirih, "Lo ke sini dan bujuk gue  buat pulang cuma karena takut gue  berantemin Jimin, kan?" 

"Bukan gitu, Jeongguk," Taehyung menghela napas lelah, "Gue cuma—"

"Cuma apa?" Jeongguk memotong emosi, "Cuma kasian?" mendengus keras-keras, "Lo selama ini baik sama gue cuma karena simpati, lo nggak mau gue celakain orang lain. Lo nggak mau sakitnya orang-orang yang diakibatin oleh gue itu bikin lo kebeban karena lo ngerasa bertanggung jawab atas segala tindakan gue, iya kan?" racaunya sesak, "Berhenti, Taehyung. Perhatian lo itu cuma bikin gue sakit."

Taehyung total bungkam.

"Sekarang gue tanya," Jeongguk merangkai kalimat dengan harapan bodoh yang masih saja menggaung di kepalanya, "Lo sedikiiiit aja, ada nggak perasaan ke gue selain simpati? Selain rasa kasian doang?"

Tapi kemudian, keheningan yang Taehyung ciptakan membuat Jeongguk terkekeh pahit. 

"Beban lo sampe sini aja ya, Taehyung. Kedepannya gue bakal tanggung sendiri." Jeongguk menepuk dada Taehyung dua kali dan tersenyum, "Let's break up."

Dan Jeongguk tidak perlu menunggu jawaban apa-apa lagi dari Taehyung, pergi meninggalkan pemuda itu bersama harapan yang sejak dulu seharusnya sudah dia buang jauh-jauh. 

Jeongguk dan bahagia memang tidak pernah berjodoh.