MUDITA; 244

Taehyung datang dengan vespa merahnya bertepatan dengan Jeongguk yang membuka pintu rumah, hendak menutup kembali dan memutar kunci ketika suara teriakan dengan langkah terburu dari Taehyung yang menghampirinya.

“Jangan dikunci,” Taehyung masih memakai helm saat dia menghampiri Jeongguk, melepas tergesa pengaman helm kemudian menyerahkan pada pemuda itu, “…pipis—gue mau pipis.”

Jeongguk memutar mata, mendengus geli namun tetap memberikan gestur mempersilakan pada Taehyung untuk masuk dan menuntaskan panggilan alamnya sementara dia memilih menunggui di luar.

Menanggapi hal itu, tanpa pikir panjang Taehyung segera berlari menaiki anak tangga dua-dua sekaligus, memasuki kamar Jeongguk dan segera menuju kamar mandi. Lantas, ketika dia keluar, Taehyung baru menyadari bahwa kamar Jeongguk sedari tadi gelap. Logikanya berkata bahwa Taehyung harus segera keluar dari tempat ini, ada Jeongguk yang menungggunya di bawah dengan perut kosong dan merengek ingin segera diisi. Namun, Taehyung tidak tahu mengapa nalurinya bergerak lebih dulu dengan menyalakan flash pada layar ponsel dan mencari keberadaan saklar lampu.

Apa yang dia cari sebenarnya?

Saat lampu menyala dan cahaya memenuhi seisi ruangan, Taehyung mengedarkan pandangan, mematri setiap sudut. Dan dia baru menyadari bahwa kamar Jeongguk didominasi oleh warna hitam dan putih. Tipikal. Sewaktu pertama kali Taehyung memasuki ruangan ini, dia tidak memikirkan hal lain kecuali membersihkan diri kemudian langsung turun ke dapur, hingga semua detil yang ada pada tiap-tiap perabot—tempat tidur berukuran queen size dengan seprai berwarna hitam, beberapa nakas di kanan kiri serta sudut-sudut ruangan, sofa juga meja dan televisi yang menggantung di dinding. Hati Taehyung menghangat kala atensinya teralihkan pada tanaman-tanaman hias yang diletakkan di sekitar jendela. Ada sticky notes warna-warni di sana; Pachira kesukaan bunda, Jade kesukaan Jeongguk, Rosemary untuk Bunda, Lavender milik Bunda, Sukulen milik Jeongguk tapi sayangnya Bunda nggak suka.

Membaca hal itu, tiba-tiba, Taehyung dilanda takut yang menghujam kepalanya hingga ulu hati tanpa permisi. Taehyung tidak siap kehilangan Mama. Mengeruk bumi hingga tembus di kedua sisi pun rasanya sanggup untuk Taehyung lakukan selama oksigen masih berada dalam paru-paru Mama dan Tuhan memiliki kemurahan hati untuk tidak memutus nyawa orang terkasihnya itu terlalu dini.

Taehyung sepintas merasa konyol saat ingatannya memutar beberapa bagian kejadian di waktu lalu. Tentu saja poros hidup Jeongguk bukan dirinya. Itu adalah Bunda. Sama seperti Taehyung yang menomor satukan Mama atas segalanya.

Obsidiannya berpendar, menatap seksama seisi ruangan sekali lagi. Jeongguk mengoleksi banyak sekali make up. Beberapa kamera, cat air dan tumpukan buku resep makanan yang disusun rapi di atas meja. Dinding penuh dengan lukisan kanvas serta foto polaroid random; berbagai potret alam, seorang wanita yang Taehyung tebak adalah ibu Jeongguk,  dan dirinya.

Tersenyum, Taehyung  lantas mengambil salah satu polaroid dirinya yang Jeongguk ambil diam-diam saat acara pentas seni tahun lalu dimana dia cosplay menjadi salah satu karakter anime. Taehyung dapat merasakan cinta yang begitu besar dari cara Jeongguk mengabadikannya dalam sebuah gambar, menjadikan jantungnya berantakan begitu saja.

Sadar bahwa dia sudah membuat Jeongguk menunggu begitu lama, Taehyung bergegas mematikan kembali lampu dan keluar dari kamar. Namun ketika langkahnya sudah mencapai anak tangga ke lima, samar-samar Taehyung dapat mendengar suara teriakan marah seorang wanita dari luar yang semakin lama menggaung jelas bersama bunyi tamparan keras yang menyusul.

(t/w: mention of rape)

“Kalau aja Ayahmu nggak jadi manusia brengsek dan perkosa Bunda, Bunda nggak bakal hamil anak  yang nggak berguna kayak kamu, Jeon Jeongguk.”