MUDITA; 246

Jeongguk tidak menyadari bahwa tubuhnya telah merosot ke lantai, air mata merembes melalui celah bulu lentiknya.Tidak ada  sekaan  dan usapan seperti biasa, kali ini Jeongguk membiarkannya tumpah begitu saja, mengalir untuk pertama kalinya dengan mulus melalui pipi hingga turun ke dagu. Rasanya sakit sekali. Dada Jeongguk begitu sesak, seakan tidak ada oksigen untuk bisa dikonsumsi parunya. Setiap taluan pada detak jantungnya mengantarkan denyut nyeri yang menjalar melalui aliran peredaran darahnya, menjadikan tubuh Jeongguk bergetar hebat oleh rasa remuk yang begitu hebat menghujam hatinya.

 

Jeongguk duduk dan meringkuk, terisak keras. Perkataan Bunda beberapa saat lalu mengawang di telinganya, sakitnya masih sama tiap kali ingatan itu berputar di memori Jeongguk, begitu sesak. Jeongguk sungguh-sungguh tidak mengharapkan kata itu keluar dari mulut Bunda untuk kedua kali. Alasan mengapa Jeongguk menjauh dari rumah, menghindar dari Bunda. Cukup sekali, cukup sekali Jeongguk mendengarnya dan berujung dirinya ingin memutus nyawa di Rooftop sekolah beberapa tahun lalu.

 

Kadang kala, Jeongguk terus berpikir; Apa usahanya kurang? Apa Jeongguk memang tidak seberguna itu? Secacat apa dirinya dimata Bunda?  Jeongguk telah melakukan segalanya. Mencurahkan semua kasih sayang yang begitu besar untuk sang bunda. Jeongguk selalu berusaha agar Bunda merasa bahwa dia hanya perlu Jeongguk untuk bertahan hidup. Tapi rasanya itu tidak pernah cukup. Jeongguk selalu kurang, tidak pernah benar dalam melakukan sesuatu yang berujung amarah dari Bunda. 

 

Jeongguk bahkan tidak menyadari ketika langkah kaki mendekat ke arahnya, dan baru terlonjak saat  sepasang tangan terjulur, memeluk dari belakang.

 

Mendongak, Jeongguk berusaha menoleh, namun suara seseorang di belakangnya itu lebih dulu membuka, "Ini Taehyung."

Tentu saja itu Taehyung, dengan aroma citrus dan teh familiarnya yang menguar. Jeongguk nyaris lupa akan eksistensi Taehyung, fokusnya terlalu tertuju pada Bunda hingga dia tidak mengingat bahwa Taehyung juga ada di sini.. yang berarti..."...lo denger semuanya?" tanya Jeongguk dengan suara serak dan bergetar.

Taehyung terdiam sejenak, "Enggak," jawabnya berdusta, "Gue nggak denger apa-apa."

"Bohong."

Taehyung balas menjawab halus, jemarinya dia bawa mengelus kepala Jeongguk lembut, "Kalo lo pengen gue nggak denger apa-apa, artinya gue gak denger apapun."

Jeongguk mendengus, menghela napas panjang-panjang dan menghembuskannya keras melalui mulut, "Taehyung?" ucapnya dengan getir ketika memanggil nama pemuda itu.

"Ya?" suara Taehyung sarat kehangatan.

"Capek," Jeongguk berkata parau, tangis nyaris kembali pecah, "Capek banget."

Taehyung tersenyum lemah mendengar penuturan Jeongguk, menarik pemuda itu agar menyadarkan tubuhnya pada Taehyung kemudian ia berbisik pelan,  "It's okay," pelukannya mengerat, mengecup sekilas puncak kepala Jeongguk, "You have me."

 

Dan sepanjang sore itu, Taehyung menyanyi untuknya, berkata bahwa musik adalah healing dan teman paling nyaman untuk menangis.