MUDITA; 273

"Lo ngapain, brengsek!" Jeongguk merebut gunting dari tangan Jimin, melemparnya ke sudut ruangan hingga bunyi klontang nyaring tercipta karena gesekan stainless steel dan marmer. 

 

Jimin tersentak ketika menyadari kehadiran Jeongguk dan mengangkat wajah. Pandangan pemuda itu sayu dan kosong, matanya merah dengan kantung hitam di bagian bawah serta bibir pucat dengan bekas luka akibat kulit kering yang dipaksa untuk mengelupas. Namun kemudian raut terkejut itu berubah datar. Jimin menyesap lintingan rokok dan berkata santai, seakan tidak terganggu oleh amarah Jeongguk, "Halo, Jeongguk," dia lalu berdiri, menarik sudut bibirnya membentuk senyum ramah dan berucap lagi, "Ngapain ke kamar gue?"

  

Melihat reaksi Jimin yang tampak biasa saja seolah-olah pemuda tersebut beberapa saat lalu tidak sedang mencoba memangkas umurnya sendiri membuat Jeongguk kesal, "Lo yang ngapain sama ini," Jeongguk mengambil lintingan rokok ganja itu dari tangan Jimin dan menginjakknya hingga hancur, "Otak lo di mana?"

Jimin mengerjap, senyumnya turun, "Gue salah lagi ya?" tudingnya lemah, "Maaf?"

"Emang salah," sergah Jeongguk membenarkan, nadanya meninggi, "Gue nggak ada bilang lo buat make barang ini."

"Terus buat apa lo kasih ke gue?"

"Cuma pap kan kata gue? Terus kasih balik biar gue kembaliin lagi sama Bobby. Kalo lo konsumsi, bisa kecanduan tolol."

Jimin mengendikkan bahu, "Nggak papa," dengungnya, matanya menerawang langit-langit kamar, "Gue seenggaknya ngerasa bahagia makai itu."

Mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Jimin, Jeongguk yang tadinya hendak bersikap sedikit lunak pada pria itu mendadak emosi. Dia membalas dengan napas memburu,"Orang yang selalu dilimpahin kebahagiaan kayak lo sekalinya dikasih musibah dikit aja lebay banget ya," dengusnya remeh, "Diselingkuhin doang aja lo sedepresi ini. Kocak."

 

Balasan gelak tawa dari Jimin adalah bukan hal yang akan Jeongguk perkirakan. Pemuda itu terkekeh geli, sedikit menyeramkan dengan warna pucat menggantung di wajah, "Bukannya lo juga sama? Lo juga sedepresi itu kan sama Taehyung?"

 

"Jangan bikin seolah rasa sakit lo itu setara sama gue karna cuma gara-gara lo dikhianatin lover lo doang," Jeongguk  menyangkal dengan salakan, napasnya berantakan, "Lo nggak pernah tau rasanya jadi gue. Sampai kapan pun nggak akan pernah," dia menunjuk dada Jimin penuh penghakiman, "Lo hidup enak dari kecil, punya orang tua kaya, makan pake sendok perak tiap hari. Lo putera Raja. Bangsawan kayak lo nggak pantes buat ngerasa bahwa kita sepernasib-an."

 

Obsidian Jeongguk berkilat panas oleh gulungan emosi yang berdentum di kepalanya, "Sadar,  lo cuma kena selingkuhin bangsat," gerit Jeongguk tertahan,  "Masih ada ayah lo sama bunda gue buat lo bisa berbagi kisah. Lo kegores dikit aja yang disalahin rakyat lo. Padahal lo sendiri yang ceroboh. Sepenting itu kebahagiaan dan kenyamanan lo bagi orang-orang. Seberharga itu senyum di wajah lo yang kalo ilang aja orang berasa mau ngehadapin kiamat. Dan lo? Di sini? Ngisep ganja kayak orang gak bersyukur cuma karena satu hal kecil doang," suara Jeongguk bergetar emosional, "Jim, lo punya istana buat pulang. Nggak usah sok dramatisir keadaan sampai mau bunuh diri segala, alay lo."

Jimin tersenyum pahit, berjalan melewati Jeongguk dan mengambil gunting yang tergeletak di lantai, "Nggak usah dikte apapun tentang gue seolah lo tau segala hal," dia memandang gunting tersebut, "Lo nggak tau apapun. Karna apa? Kita nggak sedekat itu. Waktu lo cuma dihabisin untuk nyari arang baru setiap harinya buat nyulut api kebencian dan kedengkian dalam hati lo," dia berbalik dan menghampiri pemuda Jeon, senyumnya mengembang, "Jangankan istana, jalan pulang aja gue masih tersesat."

 

Jeongguk di posisinya tiba-tiba merasa panik oleh pergerakan Jimin yang berubah agresif, pemuda itu terus mengoceh sembari memutar-mutar gunting di tangannya, mengintimidasi Jeongguk hingga tanpa sadar dia sudah berjalan mundur dan punggungnya menyentuh dinding kamar. Jeongguk menelan ludah, tatapan mata Jimin yang kosong membuat dia tiba-tiba dilanda kepanikan, "Jim," Jeongguk beringsut, "Mundur."

 

Jimin membuang napas, menghiraukan kalimat Jeongguk juga ekspresi ketakutan dari pemuda itu dan terus bermonolog, "Untuk ukuran orang yang pernah mau bunuh diri, omongan lo tadi brengsek juga ya, Gguk," dia menodongkan gunting ke wajah Jeongguk, menyeringai kecil, "Dramatisir keadaan? Alay? Lo padahal tau gimana tajamnya perkataan bisa hancurin mental seseorang, right?"  respirasi Jimin berpacu kacau dan sudut matanya mulai menggenang, "Tapi kenapa lo bisa begitu lapangnya nyemburin kalimat itu ke gue? Cuma diselingkuhin? Cuma?" suaranya parau, melirik nanar Jeongguk yang dari penglihatannya tengah membuka ponsel diam-diam di sisi kanan tangannya, tapi dia membiarkan.

 

"Gguk," panggil Jimin bergetar, "Sayang sekali, you don't know everything. Any part of me, no one," tawanya getir.

 

Lalu, Jeongguk tidak bisa mengingat apapun ketika tajamnya ujung gunting tertangkap mata tengah terayun ke arahnya.