MUDITA; 288

Jeongguk membuang napas, menghembuskan dengan perlahan ketika nomor kamar inap Jimin yang menggantung dengan tulisan angka 115  mulai tertangkap penglihatannya. Rasa gugup tiba-tiba menyeargapi, membuatnya meragukan diri sesaat setelah kakinya mencapai ambang pintu berwarna putih dengan gradasi biru itu. Menarik napas dalam-dalam, Jeongguk meyakinkan dirinya, demi tuhan ini hanya Jimin dan gugup bukanlah hal yang diperlukan karena mereka sudah hidup bersama untuk waktu yang lama. Jeongguk hanya perlu bersikap biasa, menjenguk Jimin sebentar lalu pulang.

Tangannya kemudian terulur, berniat mengetuk pelan pintu sebelum suara seperti bunyi tamparan dari dalam samar-samar terdengar olehnya.

Disusul kemudian teriakan menggema dari seorang lelaki.

****

(tw; emotional, physical, and verbal abuse)

"Lihat ini!" nada bicara orang itu meninggi, "Kamu di drop out dari sekolah."

Jimin, yang kala itu baru hendak menyuap buburnya dikejutkan oleh lemparan beberapa lembar kertas ke badannya. Dia mengerjap, menatap sosok lelaki paruh baya dengan jas terpasang rapi di badan itu dengan takut-takut, "Maaf, Ayah."

Seseorang yang dipanggil Ayah itu melayangkan satu tamparan kembali, menyebabkan mangkok yang dipegangnya dalam pangkuan terbalik dan bubur panis dari dalam mangkok tersebut tumpah. Tapi Jimin membiarkan, menahan panas yang mulai menjalar karena dia tahu, ayahnya tidak suka rengekan.

"Maaf?" pria tua itu mendengus, menarik rambut Jimin, memaksanya untuk memandang ke arah Ayah,  "Apa maaf bisa bikin kamu balik sekolah lagi? Apa maaf bisa bikin istriku kembali?"

Jimin meneguk ludah, hatinya terasa kelu ketika hal itu selalu menjadi senjata untuk membungkamnya.

"Kamu ngelakuin hal konyol dengan korbanin satu-satunya keahlianmu?" Ayah menggeram, "Kamu pikir kamu ini Jeongguk yang bisa banyak hal? Harusnya kamu contoh dia, dia bisa masak, lukis, nyanyi, macam-macam hobi dia geluti. Dia punya soft skills buat masa depannya," desisnya emosi."

Sedangkan kamu? Kamu bisa apa selain akademik, Park Jimin?" Tuan Park berseru, melepas tarikan pada rambut Jimin dan mendorongnya kencang, "Kebisaanmu cuma repotin orang terus dari dulu, nyusahin orang terus dari dulu. Sedikit-sedikit ngerengek, sedikit-sedikit minta tolong sama orang lain. Kamu ngerasa penderitaanmu seberapa banyak? Sebanyak Ayah?"

Jimin semakin menunduk dalam, tidak ingin membiarkan air matanya tertangkap oleh penglihatan sang ayah. Ayahnya tida suka seseorang yang cengeng.

"Jimin minta maaf, Ayah."

"Minta maaf?" Ayah membuang muka, tertawa sarkatik, "Minta maaf sana sama panti rehabilitasi yang akan nanti kamu habis ini."

Tidak ada jawaban dari Jimin, dan Ayah menatap Jimin sekali lagi dengan pandangan menusuk, "Terus Yoongi kenapa bisa selingkuh dari kamu?" ditatapnya Jimin sangsi, "Kamu kurang perhatian ke dia? Kamu repotin terus, kan? Ayah sudah siapin orang buat jamin masa depanmu dari dulu tapi kamu bahkan nggak bisa ngejaga? Kamu ini benar-benar tong kosong kalau tanpa nilai akademikmu itu, ya, Park Jimin?" 

Ayah mendengus, dia memijat keningnya, pening, "Astaga, kenapa aku dan istriku bisa punya anak yang tidak berguna seperti kamu?"

"Ayah.." Jimin melirih, merasa tidak sanggup lagi untuk mendengarkan ocehan keluar dari mulut ayahnya. 

"Ayah?" Tuan Park membalas sengit, "Jangan panggil aku Ayah lagi. Bikin malu saja kamu."

Dan kemudian Ayah pergi meninggalkannya, membanting pintu terlalu keras bersama isak tangis dari Jimin yang tumpah.

Yoongi, Jimin membutuhkannya. Tapi satu-satunya pondasi itu juga sudah runtuh.