Waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari ketika Jeongguk masih dalam kondisi terjaga dari tidurnya, sama sekali tidak berusaha untuk memejamkan mata. Yang dilakukannya selepas Taehyung tidur hanyalah memandangi pria itu sejak tadi, mengamati deru napas teratur pemuda dalam pelukannya itu. Menyibak sedikit selimut yang menutupi tubuh telanjang keduanya, tangan Jeongguk terulur, membelai perlahan pipi Taehyung, menyusuri garis rahang pemuda itu lamat-lamat. Jeongguk ketakutan . Begitu takut hingga rasanya dia tidak berani menutup matanya barang sebentarpun. Bagaimana jika ini semua tidak nyata ? Bagaimana jika Taehyung meninggalkannya saat Jeongguk lengah? Memikirkan kemungkinan Taehyung tidak ada di atas ranjangnya keesokan hari adalah sesuatu yang tidak bisa Jeongguk bayangkan. Dadanya tiba-tiba saja terasa nyeri dan dia gemetar oleh angannya sendiri. Tidak bisa . Jeongguk tidak akan bisa lagi menanggung semuanya. Jeongguk bisa mati jika setelah semua ini, Taehyung ...
“ Maaf.” Jeongguk menahan geli ketika keduanya telah berada di kamarnya. Taehyung yang salah tingkah adalah pemandangan menyenangkan untuk dilihat. Mereka baru saja dipergok oleh Nyonya Jeon beberapa saat lalu. Wajah pucat bundanya ketika menatap horor pada dirinya yang nyaris dilucuti oleh Taehyung di tempat terbuka pun masih terbayang di ingatan. Mereka kelabakan sewaktu teriakan Nyonya Jeon memecah suasana sensual di antara keduanya. Taehyung nyaris membuatnya terjerembab saat menurunkan Jeongguk dengan tiba-tiba. Jeongguk setengah menahan malu membenarkan pakaiannya yang tersingkap, sementara Taehyung hanya menyengir seperti orang kelimpungan dan mengucapkan hai canggung yang jelas dibalas delikan oleh Nyonya Jeon. “Kenapa minta maaf?” Jeongguk tergelak, mengambil posisi duduk di atas kasur menghadap Taehyung. Taehyung membuang napas keras-keras, “Yang tadi itu kelepasan.” Jeongguk mengangkat bahu tidak peduli, “Santai aja,” jawabnya ringan, “Bunda kaget doang pasti waktu tau anakn...