Langsung ke konten utama

Interlude; 183

“Taehyung?” Jeongguk memanggil, “Kamu kenapa?” tanyanya menyelidik. Tangannya berusaha menyentuh wajah sang suami, “Habis dari toilet kok mukanya langsung pucat?”  

Tepisan refleks dari Taehyung membuat Jeongguk mengernyit bingung atas sikap aneh yang ditunjukkan oleh pemuda di hadapannya. Taehyung tampak terdiam sejenak sebelum tawa hambar keluar dari mulutnya. “Enggak,” kilahnya pelan, sama sekali tidak memiliki mood untuk berbicara. Tapi Taehyung tetap memaksakan kalimat keluar dari mulutnya, “Tadi habis muntah.”

“Muntah?” mata Jeongguk menyipit, mencoba menelisik ke dalam obsidian Taehyung yang tampak memerah, setitik air mata menggantung di kelopaknya, hanya saja sang pemilik tampak enggan menjatuhkan ke pipi. “Kenapa bisa muntah? Perasaan kita nggak mesen aneh-aneh,” Jeongguk mengendikkan dagunya ke arah meja yang masih menyisakan setengah porsi steak milik Taehyung.

Taehyung mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Jeongguk untuk berhenti bertanya. Tubuhnya dia sandarkan pada kursi, tatapan mendongak ke langit-langit restoran sementara Jeongguk di sisinya semakin dibuat tidak mengerti oleh perangai Taehyung yang mendadak aneh sejak pria itu meminta izin untuk pergi ke toilet dan makin aneh lagi ketika dia sudah kembali dengan wajah pucat masai dan mata memerah seolah menahan tangis. 

“Masih mual?” Jeongguk bertanya lagi, dirinya memutuskan untuk percaya perkataan Taehyung dan tidak mendesak pemuda itu untuk menjelaskan lebih jauh karena kondisi Taehyung tampak benar-benar seperti orang sakitBeberapa waktu lalu, Jeongguk dapat menyaksikan langkah lunglai Taehyung saat dia berjalan ke meja makan mereka dan langsung melemparkan tubuhnya pada kursi dengan serampangan dan mengambil napas panjang.

Tangannya terulur, menepuk-nepuk punggung Taehyung lembut dan memijit pangkal lehernya, “Mau pulang sekarang?” bisik Jeongguk halus dengan nada menenangkan, “V juga kayaknya udah ngantuk,” tunjuknya pada balita yang terantuk-antuk dengan mata yang mulai menutup, “Aku aja yang nyetir.”

Dan Jeongguk tidak bisa untuk tidak memekik terkejut ketika dengan tiba-tiba tubuhnya ditarik oleh Taehyung kedalam sebuah pelukan yang terasa asing

Nyaman dan hangatnya masih sama seperti biasa, Jeongguk tetap dapat merasakan bahwa pelukan yang Taehyung berikan padanya adalah rumah. Tapi sisi lain Jeongguk mengatakan bahwa tidak akan menyukai jenis pelukan ini. Pelukan yang seolah menyiratkan jika mereka tidak akan bisa lagi melakukannya. Pelukan perpisahan.

“Hey,” Jeongguk mengelus rambut Taehyung penuh sayang, “Kenapa?”

Dipelukannya, Taehyung menggeleng lemah, menyenderkan kepalanya pada bahu Jeongguk lelah. Pelukannya mengerat, dan Jeongguk hanya bisa memberikan sentuhan lembut pada punggung Taehyung, berusaha membuat pemuda itu merasakan ketenangan dari hal apapun yang sedang mengganggunya.

Hingga tatkala Taehyung membuka suara, begitu parau dan sarat akan kesedihan, “Jangan pergi.”

Jeongguk diposisinya tercenung menanggapi kalimat ambigu yang terlontar dari mulut suaminya. Dia berusaha menjauhkan tubuh dari Taehyung hanya untuk menatap kedua bola mata pemuda itu yang telah meredup dengan satu garis bekas air mata di pipinya.

Taehyung-nya menangis. Hal yang nyaris tidak pernah dilakukan Kim Taehyung dalam kondisi sesulit apapun hidupnya tengah diuji. Bahkan ketika pertengkaran hebat mereka ketika masalah Jeongguk yang tidak sengaja meniduri Jennie, Taehyung masih bisa mengata-ngatainya dan pertengkaran itu dilalui tanpa ada tangisan dari keduanya. Aneh rasanya melihat Taehyung sebegitu lemah begini sampai  merengek dan menangis padanya seperti anak kecil hanya karena muntah. Taehyung memang manja jika sedang sakit dan rewel minta apapun hingga Jeongguk mau tidak mau akan menjadi baby sitter pemuda itu seharian, tapi tetap saja tanpa menangis.

Lantas, tangan Jeongguk bergerak untuk mengusap lembut jejak air mata di pipi Taehyung dengan ibu jarinya, “Kenapa, sayang?”

Tarikan napas dari Taehyung sebelum tangannya menangkup telapak Jeongguk dan membawanya ke dalam sebuah genggaman erat, “Nggak papa,” Taehyung berkata lemah setelah dengan susah payah menekan segala emosinya hingga dasar kesadaran, “Tadi habis overthinking.

“Katanya muntah.”

Overthinking terus muntah.”

Jeongguk mendengus atas jawaban yang Taehyung berikan. “Emang mikirin apa? Masa overthinking di toilet restoran dan siang-siang begini, nggak elit banget.”

Taehyung berhasilkan meloloskan tawa ringan, “Overthinking bisa datang kapan aja, cantik,” mencium pipi Jeongguk sekilas menghasilkan delikan tajam dari lawan bicaranya, namun Taehyung tidak peduli. “Ayo pulang?”

“Jawab dulu.”

“Jawab apa?”

“Tadi mikirin apa?” Jeongguk masih tidak menyerah akan rasa penasarannya, “Sampai bikin nangis gitu.”

Tidak mungkin bagi Taehyung untuk menceritakan segalanya pada Jeongguk sekarang terkait kehamilan Jennie. Disamping karena takut Jeongguk akan melakukan hal gila lainnya dengan otaknya yang hanya mengandalkan emosi ketimbang logika saat menghadapi masalah, Taehyung juga masih belum siap.

Dia tidak berani membayangkan Jeongguk lepas dari genggamannya. Skenario yang ada di kepala Taehyung tentang kehilangan Jeongguk hanyalah bayangan jika pemuda itu diambil Tuhan mendahului dirinya. Tidak pernah terlintas skenario-skenario lainnya karena Taehyung tidak akan membiarkan manusia manapun menjadi sumber kebahagiaan Jeongguk selain dia sendiri. Taehyung tidak akan segan melakukan apapun jika sesuatu mencoba merenggut Jeongguk-nya dari kehidupan Taehyung.

Tapi di situasi sekarang, Taehyung tidak berdaya. Mungkin dia masih bisa tega membiarkan semuanya  dan bersikap persetan jika itu adalah orang lain. Namun yang menjadi masalah adalah; ini Jennie, sepupunya, keluarga Taehyung sendiri sekaligus teman masa kecilnya. Tidak mungkin bagi Taehyung untuk membiarkan Jennie menanggung semua hasil dari segala drama yang terjadi di antara mereka.

“Taehyung, kok diem?” Jeongguk menepuk pelan bahu Taehyung, membuat suaminya terkesirap kecil, “Kamu kenapa deh? Aneh banget.”

Taehyung menggeleng pelan, “Nggak papa.”

“Nggak papa terus dari tadi.”

“Emang beneran nggak papa.”

“Bohong.”

“Emang.”

“Taehyungggg!”

Setidaknya, yang bisa Taehyung lakukan sekarang adalah mengulur, mencari hari yang tepat untuk dirinya bisa melepaskan Jeongguk dengan lapang.

Sekalipun Taehyung benar-benar paham, tidak ada kehilangan hal terkasih yang disertai dengan keikhlasan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MUDITA; 246

Jeongguk tidak menyadari bahwa tubuhnya telah merosot ke lantai, air mata merembes melalui celah bulu lentiknya.Tidak ada  sekaan  dan usapan seperti biasa, kali ini Jeongguk membiarkannya tumpah begitu saja, mengalir untuk pertama kalinya dengan mulus melalui pipi hingga turun ke dagu. Rasanya sakit sekali. Dada Jeongguk begitu sesak, seakan tidak ada oksigen untuk bisa dikonsumsi parunya. Setiap taluan pada detak jantungnya mengantarkan denyut nyeri yang menjalar melalui aliran peredaran darahnya, menjadikan tubuh Jeongguk bergetar hebat oleh rasa remuk yang begitu hebat menghujam hatinya.   Jeongguk duduk dan meringkuk, terisak keras. Perkataan Bunda beberapa saat lalu mengawang di telinganya, sakitnya masih sama tiap kali ingatan itu berputar di memori Jeongguk, begitu sesak. Jeongguk sungguh-sungguh tidak mengharapkan kata itu keluar dari mulut Bunda untuk kedua kali. Alasan mengapa Jeongguk menjauh dari rumah, menghindar dari Bunda. Cukup sekali, cukup sekali Jeong...

MUDITA; epilogue (3.5/5)

“ Maaf.” Jeongguk menahan geli ketika keduanya telah berada di kamarnya. Taehyung yang salah tingkah adalah pemandangan menyenangkan untuk dilihat. Mereka baru saja dipergok oleh Nyonya Jeon beberapa saat lalu. Wajah pucat bundanya ketika menatap horor pada dirinya yang nyaris dilucuti oleh Taehyung di tempat terbuka pun masih terbayang di ingatan. Mereka kelabakan sewaktu teriakan Nyonya Jeon memecah suasana sensual di antara keduanya. Taehyung nyaris membuatnya terjerembab saat menurunkan Jeongguk dengan tiba-tiba. Jeongguk setengah menahan malu membenarkan pakaiannya yang tersingkap, sementara Taehyung hanya menyengir seperti orang kelimpungan dan mengucapkan hai canggung yang jelas dibalas delikan oleh Nyonya Jeon. “Kenapa minta maaf?” Jeongguk tergelak, mengambil posisi duduk di atas kasur menghadap Taehyung. Taehyung membuang napas keras-keras, “Yang tadi itu kelepasan.” Jeongguk mengangkat bahu tidak peduli, “Santai aja,” jawabnya ringan, “Bunda kaget doang pasti waktu tau anakn...

“The Moon and The Beautiful”

  “Aku mendapat pesan dari Namjoon  Hyung  beberapa saat lalu.” “ Hm ?” “Dia mencarimu, katanya kau menolak panggilannya dan tidak membuka pesan yang dia kirim.” “Aku menolak panggilannya?” “Ya, dan dia memintamu untuk ke ruangan kerjanya sekarang, ada yang ingin dibicarakan denganmu.” “Siapa?” “Namjoon  Hyung. ” “Apa katanya?” Sang lawan bicara — Jeongguk mulai merasa kesal, dia mendecih dan memutar bola mata jengah, menyaringkan nada bicaranya dan menekan setiap kata pada kalimatnya, “ Dia. Ingin. Kau. Ke. Ruangan. Kerjanya. Sekarang. ” “Namjoon  Hyung ?” Jeongguk menarik napas, setengah membanting stik  game- nya, ia kemudian bangkit dan melangkah menghampiri Taehyung. Pria besar itu tengah berbaring di sofa sejak beberapa jam lalu dengan pandangan fokus pada ponsel pintarnya. Dia bahkan mengabaikan Jeongguk ketika ditawari ajakan bermain  overwatch  bersama dan menolak panggilan serta tidak membaca pesan pribadi maupun pe...